Langit merona oleh tatapan merayu sang mentari, ganasnya telah tenggelam
sedikit demi sedikit dalam pelukan laut. Lurus di depan sana segerombolan
burung berwarna putih bercengkrama sambil sesekali menukik menyambar ikan.
Gambaran pantai sore hari selalu saja begini, indahnya tidak terbantah. Bahkan
oleh mata seseorang yang hatinya sedang terluka sekalipun.
Tidak berkedip mata sendu itu memandang lurus ke tengah laut, mengikuti
tarian ombak berirama menuju pantai. Ramai anak-anak berlarian mengejar kepiting
tidak mengalihkan tatapannya. Sesekali ia tersenyum entah apa yang
dipikirkannya. Beranjak dari duduk kaki kecilnya mulai melukis pasir dengan
jejak tak beraturan, berjalan di sepanjang pantai sampai dia lelah. Dia adalah
aku, aku yang sedari tadi berusaha menukar perih dengan indah.
Beberapa bulan sebelum ini ceritanya sangat berbeda, sore itu aku
memandang laut dengan senyum merekah tiada hentinya. Sembari menghitung jari
hatiku melonjak tak terkira, Cuma beberapa bulan lagi genap dua tahun sudah.
Tahun yang kunanti-nanti, tahun yang akan menjadi awal perjalanan babak baru
dalam hidupku. Lebih indah dibanding senja kala itu. Tidak ada sedikitpun
keraguanku akan janjinya, tidak sedikitpun takutku akan kemungkinan buruk yang bisa
terjadi. Aku hanya percaya bahwa janji itu nyata, yakin jika harapan ini akan
sampai di pelabuhannya.
Kita manusia hanya rajanya keliru, aku manusia dan aku juga sama. Tanpa
sengaja aku telah menghancurkan bangunan yang selama ini kami cipta. Entah
memang cuma salahku, atau dinding itu sudah mulai retak oleh perbedaan yang
tidak mampu diabaikan. Saat aku yang biasa-biasa saja dibandingkan dengan sosok
lain yang luar biasa, semuanya menjadi tidak bermakna. Dinding yang awalnya
retak lalu roboh tak bersisa saat tangan ini tanpa sengaja menyentuhnya.
Ketidaksengajaan menjadi bencana hingga palu itu berbunyi “akulah yang bersalah
dan tidak ada lagi kita”. Awalnya jari-jari kecilku masih berusaha memungut sisa
dinding itu agar bisa kembali berdiri, tapi semuanya tiada guna karena pondasinya
memang telah porak-poranda. Hilang sudah janji, pergi tanpa ada kata kembali.
Air membasahi ujung jari saat aku kembali dari rangkaian memori. Sudah
mulai gelap dan aku harus segera pulang. Sekali lagi kutatap mentari yang
nyaris hilang hingga pagi, aku hanya ingin menukar luka dengan indah. Pelan-pelan
kubuang benci hingga hilang bersama buih. Kubalut hati dengan maaf seperti
malam menjemput senja.