Sabtu, 08 Februari 2014

Malam Menjemput Senja



Langit merona oleh tatapan merayu sang mentari, ganasnya telah tenggelam sedikit demi sedikit dalam pelukan laut. Lurus di depan sana segerombolan burung berwarna putih bercengkrama sambil sesekali menukik menyambar ikan. Gambaran pantai sore hari selalu saja begini, indahnya tidak terbantah. Bahkan oleh mata seseorang yang hatinya sedang terluka sekalipun.
Tidak berkedip mata sendu itu memandang lurus ke tengah laut, mengikuti tarian ombak berirama menuju pantai. Ramai anak-anak berlarian mengejar kepiting tidak mengalihkan tatapannya. Sesekali ia tersenyum entah apa yang dipikirkannya. Beranjak dari duduk kaki kecilnya mulai melukis pasir dengan jejak tak beraturan, berjalan di sepanjang pantai sampai dia lelah. Dia adalah aku, aku yang sedari tadi berusaha menukar perih dengan indah.
Beberapa bulan sebelum ini ceritanya sangat berbeda, sore itu aku memandang laut dengan senyum merekah tiada hentinya. Sembari menghitung jari hatiku melonjak tak terkira, Cuma beberapa bulan lagi genap dua tahun sudah. Tahun yang kunanti-nanti, tahun yang akan menjadi awal perjalanan babak baru dalam hidupku. Lebih indah dibanding senja kala itu. Tidak ada sedikitpun keraguanku akan janjinya, tidak sedikitpun takutku akan kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Aku hanya percaya bahwa janji itu nyata, yakin jika harapan ini akan sampai di pelabuhannya.
Kita manusia hanya rajanya keliru, aku manusia dan aku juga sama. Tanpa sengaja aku telah menghancurkan bangunan yang selama ini kami cipta. Entah memang cuma salahku, atau dinding itu sudah mulai retak oleh perbedaan yang tidak mampu diabaikan. Saat aku yang biasa-biasa saja dibandingkan dengan sosok lain yang luar biasa, semuanya menjadi tidak bermakna. Dinding yang awalnya retak lalu roboh tak bersisa saat tangan ini tanpa sengaja menyentuhnya. Ketidaksengajaan menjadi bencana hingga palu itu berbunyi “akulah yang bersalah dan tidak ada lagi kita”. Awalnya jari-jari kecilku masih berusaha memungut sisa dinding itu agar bisa kembali berdiri, tapi semuanya tiada guna karena pondasinya memang telah porak-poranda. Hilang sudah janji, pergi tanpa ada kata kembali.
Air membasahi ujung jari saat aku kembali dari rangkaian memori. Sudah mulai gelap dan aku harus segera pulang. Sekali lagi kutatap mentari yang nyaris hilang hingga pagi, aku hanya ingin menukar luka dengan indah. Pelan-pelan kubuang benci hingga hilang bersama buih. Kubalut hati dengan maaf seperti malam menjemput senja.

Rabu, 05 Februari 2014

Sudah

Sudah adalah sepenggal lalu yang tak dapat berbalik
tertinggal di belakang dan menunggu di depan
entah dimana namun ada
bukan terkubur di bumi atau melayang di langit
suara tiada tanpa bentuk
Seperti kata di ujung ucap tanpa terucap

Taukah betapa sakti kata Sudah?

 Dia mampu merobek dada hingga tiada sisa rasa
 Dia sanggup menutup pikir sampai hilang angan

Ah sudah, hebat sekali engkau!